Blogtubers – Kasus dana royalti musik Rp17 miliar kini menjadi sorotan publik dan pelaku industri kreatif. Isu ini mencuat setelah muncul dugaan adanya kesalahan pengelolaan dana royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), yang selama ini berperan dalam menyalurkan hak ekonomi para musisi, pencipta lagu, dan produser rekaman di Indonesia.

Kasus ini tak hanya mengundang perhatian karena besarnya nominal yang terlibat, tetapi juga karena menyangkut kepercayaan publik terhadap sistem distribusi royalti yang seharusnya menjadi tulang punggung kesejahteraan seniman di era digital. Dengan semakin banyaknya karya musik beredar di platform streaming, sistem yang adil dan transparan menjadi mutlak dibutuhkan.
Awal Mula Dugaan Salah Kelola Dana
Isu dugaan salah kelola ini pertama kali mencuat dari laporan audit internal yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam pencatatan dana royalti. Sejumlah seniman dan pengurus lembaga musik mengaku belum menerima bagian yang seharusnya menjadi hak mereka.
Beberapa perwakilan musisi bahkan mengaku sudah berulang kali menanyakan kejelasan soal dana yang tertahan. Namun hingga kini, belum ada penjelasan resmi yang tuntas dari pihak LMKN.
Laporan sementara menyebutkan bahwa sebagian dana tersebut masih tersimpan di rekening lembaga tanpa kejelasan alokasi. Hal ini menimbulkan kecurigaan publik dan pemangku kepentingan di industri musik, terutama setelah muncul kabar bahwa dana tersebut mencapai Rp17 miliar — jumlah yang sangat signifikan bagi ratusan pencipta lagu di seluruh Indonesia.
Reaksi dari Kalangan Musisi
Sejumlah musisi senior dan muda kompak menyuarakan kekecewaan mereka terhadap situasi ini. Bagi banyak pelaku seni, royalti adalah sumber pendapatan utama, terutama di masa pascapandemi ketika banyak panggung hiburan belum sepenuhnya pulih.
Penyanyi dan mantan politisi Giring Ganesha, misalnya, menilai bahwa kasus ini adalah momentum penting untuk mereformasi sistem pengelolaan royalti di Tanah Air. Ia menegaskan perlunya audit transparan dan perbaikan mekanisme distribusi.
“Musisi tidak minta lebih, hanya minta haknya yang sesuai. Kalau dana sebesar itu tidak jelas ke mana arahnya, berarti ada yang salah dalam tata kelola,” ujarnya dalam sebuah wawancara di Jakarta.
Dukungan serupa juga datang dari sejumlah asosiasi profesi, seperti PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia) dan WAMI (Wahana Musik Indonesia), yang mendesak LMKN membuka data ke publik secara real time.
Peran LMKN dan Fungsi Pengawasan
LMKN dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Lembaga ini berfungsi mengumpulkan dan mendistribusikan royalti kepada pencipta, pemilik hak terkait, dan pelaku industri musik lainnya.
Namun, kasus ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pelaporan dan pengawasan internal. Banyak pihak menilai LMKN perlu memperbarui infrastruktur digitalnya agar pengumpulan dan distribusi dana bisa dipantau secara transparan.
Menurut pengamat hukum hak cipta, Dr. Denny Kurniawan, kasus ini bukan sekadar persoalan administrasi. “Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci utama dalam lembaga pengelola royalti. Kalau data tidak bisa diverifikasi publik, maka potensi penyalahgunaan akan selalu terbuka,” jelasnya.
Denny juga menyarankan agar pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM membentuk unit khusus pengawasan independen untuk memastikan setiap rupiah yang dikumpulkan benar-benar sampai ke tangan para pemilik hak cipta.
Baca Juga : ”Functional and Financial: Recipe for Beverage Success”
Keterlibatan Pemerintah dan DPR
Menanggapi kasus ini, sejumlah anggota DPR RI dari Komisi X telah meminta klarifikasi langsung kepada LMKN. Mereka menilai perlu dilakukan audit eksternal oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memastikan penggunaan dana sesuai prosedur.
Ketua Komisi X, yang membidangi urusan kebudayaan dan hak cipta, menegaskan bahwa lembaga yang mengelola dana publik seperti LMKN wajib tunduk pada prinsip keterbukaan informasi. “Dana royalti bukan uang pribadi, melainkan hak kolektif para seniman. Tidak boleh ada ruang abu-abu dalam pengelolaannya,” ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Hukum dan HAM berjanji akan memperketat regulasi dan meninjau ulang struktur organisasi LMKN agar lebih profesional dan bebas dari konflik kepentingan.
Pemerintah juga tengah mempertimbangkan pembentukan platform digital nasional yang dapat menampung seluruh data pemutaran musik dan perhitungan royalti secara otomatis. Langkah ini diharapkan bisa meminimalisir kesalahan administrasi dan mempercepat distribusi.
Dampak terhadap Industri Musik
Kasus ini berdampak besar terhadap kepercayaan pelaku industri musik terhadap sistem manajemen kolektif di Indonesia. Beberapa produser dan label rekaman mengaku ragu untuk mendaftarkan karya mereka melalui LMKN sebelum ada jaminan transparansi.
Di sisi lain, musisi independen juga merasa kesulitan melacak pendapatan dari karya mereka yang diputar di berbagai platform streaming. Padahal, di era digital, seharusnya sistem royalti berbasis metadata dan teknologi blockchain sudah bisa diterapkan untuk mencegah kebocoran dana.
Pengamat industri, Sari Putri, menilai bahwa modernisasi sistem pengumpulan royalti adalah hal yang mendesak. “Kalau LMKN tidak segera beradaptasi dengan teknologi, kasus seperti ini akan terus berulang. Di negara lain, sistem ini sudah otomatis dan bisa dipantau publik,” jelasnya.
Teknologi Sebagai Solusi
Kasus ini justru membuka peluang besar bagi pemerintah dan pelaku industri untuk melakukan transformasi digital di sektor musik. Dengan memanfaatkan teknologi big data, artificial intelligence (AI), dan blockchain, setiap pemutaran lagu di platform digital bisa langsung tercatat dan dikonversi menjadi nilai royalti secara otomatis.
Beberapa startup lokal bahkan sudah mengembangkan sistem serupa, namun belum diadopsi secara nasional. Jika sistem ini diterapkan, dana royalti bisa langsung masuk ke rekening pemilik hak cipta tanpa harus melalui proses manual yang rawan kesalahan.
Implementasi teknologi juga bisa mengurangi potensi konflik antara lembaga pengelola dan artis, karena semua data transaksi bisa diverifikasi secara publik.
LMKN Angkat Bicara
Menanggapi polemik ini, pihak LMKN akhirnya mengeluarkan pernyataan resmi bahwa dana sebesar Rp17 miliar tersebut tidak hilang, melainkan masih dalam proses validasi data penerima. Mereka beralasan bahwa verifikasi dilakukan secara bertahap agar dana disalurkan tepat sasaran.
Namun, klarifikasi itu belum sepenuhnya memuaskan publik. Banyak musisi menilai alasan tersebut terlalu umum dan tidak disertai bukti transparan. Beberapa pihak bahkan mendesak agar LMKN membuka laporan keuangan secara daring, lengkap dengan daftar penerima royalti.
Hingga berita ini ditulis, proses audit masih berlangsung dan hasilnya akan diumumkan pada akhir tahun. Pemerintah menjanjikan langkah tegas jika ditemukan unsur pelanggaran administratif atau pidana dalam pengelolaan dana.
Menanti Kejelasan dan Reformasi
Kasus ini menjadi refleksi penting bagi seluruh pemangku kepentingan di industri musik Indonesia. Pengelolaan royalti bukan hanya soal uang, tetapi juga soal keadilan dan penghargaan terhadap karya intelektual.
Dengan nominal sebesar Rp17 miliar yang kini dipertanyakan, masyarakat berharap agar kasus ini bisa menjadi momentum reformasi total sistem manajemen royalti di Indonesia.
Transparansi, akuntabilitas, dan penerapan teknologi harus menjadi prioritas agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Sebab di tengah pesatnya perkembangan platform digital dan semakin banyaknya musisi muda berbakat, sistem yang adil dan modern adalah satu-satunya cara untuk memastikan semua pihak mendapat haknya.
Kasus dana royalti musik Rp17 miliar ini menunjukkan bahwa sistem manajemen kolektif di Indonesia masih membutuhkan perbaikan besar. Publik menuntut LMKN dan pemerintah untuk lebih terbuka, akurat, dan efisien dalam mengelola dana yang berasal dari karya seni para musisi.
Jika langkah reformasi benar-benar dijalankan, industri musik Indonesia bisa kembali tumbuh sehat dan berdaya saing. Namun bila tidak, kepercayaan publik akan terus menurun — dan musisi, sebagai pencipta karya, akan kembali menjadi korban dari sistem yang tidak berpihak kepada mereka.