Blogtubers – Isu royalti musik kembali memanas di Indonesia setelah banyak pihak menilai bahwa aturan yang berlaku saat ini justru berpotensi menekan keberlangsungan industri kreatif tertentu, salah satunya radio komersial. Polemik ini muncul akibat adanya kebijakan yang dianggap tidak jelas, terutama terkait mekanisme pembayaran, penentuan tarif, serta pihak-pihak yang berhak mengelola dan mendistribusikan dana royalti.
Radio, yang selama ini menjadi salah satu medium hiburan populer di masyarakat, kini dihadapkan pada dilema. Di satu sisi, mereka ingin tetap mendukung para musisi dengan memberikan hak ekonomi melalui putaran karya. Namun di sisi lain, kewajiban membayar royalti dalam jumlah yang dianggap tidak rasional berpotensi mengancam kelangsungan usaha mereka.

Radio sebagai Media Tradisional yang Masih Relevan
Meskipun era digital telah menggeser pola konsumsi musik masyarakat melalui platform streaming, radio tetap memiliki peran penting. Banyak pendengar yang menjadikan radio sebagai sarana informasi, hiburan, dan koneksi emosional. Tidak hanya memutar musik, radio juga menghadirkan talkshow, berita aktual, serta interaksi langsung dengan pendengar.
Radio komersial membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit, mulai dari produksi konten, pembayaran lisensi, hingga biaya infrastruktur. Ketika ditambah dengan kewajiban membayar royalti yang belum memiliki aturan transparan, beban finansial semakin berat. Hal inilah yang menimbulkan kekhawatiran bahwa radio-radio kecil, terutama di daerah, bisa gulung tikar.
Dasar Hukum Royalti Musik di Indonesia
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik menjadi titik awal perdebatan. Aturan ini mewajibkan setiap pihak yang menggunakan lagu untuk tujuan komersial—baik itu restoran, hotel, transportasi umum, hingga stasiun radio—untuk membayar royalti.
Secara prinsip, aturan ini sah dan adil karena melindungi hak cipta musisi. Namun implementasinya menimbulkan masalah:
- Tidak semua pelaku usaha memahami prosedur pembayaran.
- Besaran tarif sering dinilai tidak sebanding dengan kemampuan finansial.
- Kurangnya sosialisasi dari lembaga pengelola.
Akibatnya, lahirlah pro dan kontra di kalangan pelaku industri, termasuk penyiaran radio.
Baca Juga : “Mysterious Domino Effect! Why Is U.S. Business Travel Booming Amid Global Turmoil?“
Dampak Ekonomi terhadap Radio Komersial
Bagi radio besar dengan jaringan nasional, membayar royalti mungkin tidak terlalu membebani karena pendapatan iklan relatif stabil. Namun bagi radio kecil dan menengah, kewajiban ini bisa menjadi momok.
Beban tambahan royalti dapat mengurangi anggaran untuk produksi konten, pengembangan teknologi siaran, bahkan gaji karyawan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan terjadi pengurangan tenaga kerja atau bahkan penutupan stasiun radio.
Selain itu, pendengar juga akan terdampak. Jika radio memilih mengurangi putaran musik demi menghemat biaya, kualitas hiburan akan berkurang. Padahal salah satu daya tarik utama radio adalah keberagaman musik yang disajikan.
Perspektif Musisi dan Lembaga Pengelola
Di sisi lain, musisi tentu memiliki pandangan berbeda. Mereka menilai bahwa pembayaran royalti adalah bentuk penghargaan atas karya cipta yang selama ini sering dimanfaatkan tanpa kompensasi layak.
Banyak musisi yang menyambut baik aturan ini, karena diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan seniman. Namun yang menjadi persoalan adalah distribusi. Ada kekhawatiran bahwa dana royalti tidak sampai secara proporsional kepada pencipta lagu, melainkan tersendat di jalur birokrasi.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) ditugaskan sebagai pengelola royalti. Namun, transparansi dan akuntabilitas mereka masih menjadi sorotan. Inilah yang kemudian menimbulkan ketidakpercayaan dari pelaku industri, termasuk stasiun radio.
Royalti Musik dalam Perspektif Global
Jika dibandingkan dengan negara lain, praktik pembayaran royalti sebenarnya bukan hal baru. Di Amerika Serikat, misalnya, radio siaran memang membayar royalti melalui badan pengelola. Namun mekanismenya lebih jelas dan transparan, dengan perhitungan tarif yang disesuaikan berdasarkan jumlah pendengar serta skala bisnis.
Di beberapa negara Eropa, radio justru mendapat insentif khusus agar tetap bisa menjadi sarana promosi musik nasional. Dengan begitu, ada keseimbangan antara melindungi hak musisi dan menjaga keberlangsungan media penyiaran.
Indonesia masih mencari pola terbaik agar regulasi royalti bisa berjalan adil tanpa membunuh salah satu pihak.
Tantangan Radio di Era Digital
Selain persoalan royalti, radio juga menghadapi persaingan ketat dari platform digital. Spotify, YouTube Music, dan Apple Music telah menjadi pilihan utama banyak pendengar muda.
Namun radio memiliki keunggulan dalam hal kedekatan emosional dan lokalitas. Acara interaktif, penyiar dengan karakter kuat, serta sajian berita lokal menjadikan radio tetap relevan.
Akan tetapi, bila isu royalti tidak ditangani dengan bijak, keunggulan ini bisa hilang karena banyak stasiun radio akan kesulitan bertahan.
Suara dari Pelaku Industri
Sejumlah asosiasi penyiaran menyuarakan keberatan atas aturan royalti yang dinilai tidak adil. Mereka meminta pemerintah untuk meninjau kembali mekanisme tarif dan memberikan skema khusus bagi radio kecil.
Bahkan beberapa pengusaha bus, kafe, hingga hotel juga menyampaikan kebingungan serupa. Mereka memilih mematikan musik di armada dan tempat usaha karena takut terkena sanksi. Kondisi ini justru merugikan musisi karena karya mereka tidak lagi diputar.
Artinya, regulasi yang dimaksudkan untuk melindungi musisi justru bisa menjadi bumerang.
Solusi yang Ditawarkan
Agar persoalan ini tidak semakin membesar, beberapa solusi bisa dipertimbangkan:
- Transparansi Lembaga Pengelola
LMKN harus memberikan laporan publik mengenai besaran dana yang terkumpul, siapa saja penerima, dan bagaimana mekanisme distribusinya. - Tarif yang Proporsional
Radio kecil di daerah tidak bisa disamakan dengan radio besar di kota metropolitan. Perlu ada skema progresif sesuai kapasitas. - Sosialisasi yang Intensif
Banyak pihak masih belum memahami prosedur pembayaran. Edukasi menyeluruh sangat dibutuhkan agar tidak menimbulkan salah tafsir. - Skema Insentif
Pemerintah bisa memberikan insentif pajak atau subsidi bagi radio yang aktif mempromosikan musik lokal. Dengan begitu, musisi tetap mendapat eksposur dan hak ekonominya terjaga.
Masa Depan Radio dan Musik Indonesia
Royalti musik adalah isu kompleks yang menyangkut hak ekonomi, keberlanjutan media, dan budaya mendengarkan musik. Apabila tidak ada solusi yang tepat, dikhawatirkan radio komersial akan semakin terpuruk.
Sebaliknya, jika regulasi dibuat lebih adil dan transparan, maka ekosistem musik di Indonesia bisa berkembang sehat. Musisi mendapatkan haknya, radio tetap hidup, dan masyarakat tetap mendapat hiburan berkualitas.
Isu ini bukan hanya soal uang, tetapi juga tentang menjaga keberlanjutan media tradisional di tengah gempuran digitalisasi. Dengan keseimbangan yang tepat, radio dan musik bisa terus berjalan berdampingan.
Kontroversi mengenai royalti musik seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola industri kreatif di Indonesia. Radio komersial tidak boleh dipandang sebagai pihak yang sekadar mencari keuntungan, melainkan bagian dari ekosistem yang turut memajukan musik tanah air.
Jika pemerintah, musisi, dan pelaku industri bisa duduk bersama untuk menemukan jalan tengah, maka polemik ini akan berakhir menjadi solusi, bukan ancaman. Masa depan musik Indonesia akan jauh lebih cerah jika semua pihak memperoleh porsi yang adil.